Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pandeglang 2050*

Langit di malam itu tampak cerah, Minggu 17 April 2050, ribuan warga kota Pandeglang turun ke jalan-jalan merayakan kemenangan tim kesayangan mereka, Jawara United yang mengukir sejarah untuk kali pertama menjuari kompetisi sepakbola paling bergengsi di negeri ini, liga Superstar Indonesia. 

Di babak penentuan mereka berhasil menghancurkan ambisi tim ibukota, Betawi City dengan skor 5-0. Besoknya, surat kabar terkemuka di kota itu, The Pandeglang Times di halaman depan menyajikan judul Pandeglang Menang, Untuk Banten, Untuk Indonesia!

Pada beberapa dasawarsa  terakhir ini, kota yang di waktu lalu dikenal sebagai kota Santri atau sang Badak ini telah menunjukan kemajuan yang tidak bisa dianggap remeh. Bukan hanya prestasi di bidang olahraga, namun juga pendidikan, pertanian dan pariwisata. 

PAD terus meningkat, begitupula IPM dan indeks kebahagiaan masyarakatnya. Pandeglang yang dulu kerap menyandang juara satu sebagai daerah miskin di provinsi Banten, kini telah bangkit dan menjelma sebagai kota yang maju. 

Perkembangan pembangunannya pesat namun tetap menjaga keseimbangan alam dengan berdasar pada pemikiran yang diserap dari budaya dan kearifan lokal setempat yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Pasca ditinggalkan oleh dua saudaranya (Kabupaten Cibaliung dan Caringin), Pemerintah daerah (Pemda) fokus menggarap sektor pariwisata yang terintegrasi dengan bidang pertanian, peternakan dan perikanan. Investor dari luar ikut andil dalam mendorong bangkitnya ekonomi di kota yang kini berjuluk Ulama Cerdas, Umat Beradab tersebut.  

Dibawah kepemimpinan Walikota yang berparas jelita, Neneng Samsiah, yang masih lajang, Pandeglang berhasil menunjukan keajaiban ekonominya. 

Sebelum Samsiyah berkuasa 7 tahun lalu, mendiang ayahnya yang menduduki kursi walikota selama dua periode secara berturut-turut telah mengajarkan bagaimana caranya menjalankan roda pemerintahan daerah dengan berbagai kebijakan yang berpihak pada rakyat banyak. 

Samsiah, lulusan S3 Harvard ini, meski dari SMA telah tinggal di luar negeri namun dirinya mengetahui dan menguasai betul kondisi dan keinginan masyarakat Pandeglang yang religius, sekaligus tidak mau ketinggalan dalam mengikuti perkembangan dunia yang semakin majemuk dan kompleks.

Syamsiah berhasil menggiring para investor  dari dalam dan luar negeri, walaupun para investor itu merupakan teman-temanya, namun dirinya berlaku profesional dalam urusan yang satu ini, tidak tampak monopoli apalagi kongkalikong . 

Lembaga pendidikan banyak berdiri, mulai dari perguruan tinggi hingga kursus keterampilan. Pendidikan bukan sesuatu yang mahal karena Pemda menyediakan dana beasiswa yang cukup besar bagi warganya yang ingin melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi.  

Pandeglang saat ini jauh sekali berbeda dengan kondisi pada 30 tahun lalu. 

Di seputar kota, jalan-jalannya lebar, kanan kiri trotoar dihiasi bunga dan lampu-lampu yang indah. 

Kecamatan Cadasari dijadikan kawasan santri, Karangtanjung pusat pendidikan, sementara kecamatan Koroncong menjadi sentra industri kerajinan. 

Kecamatan Pandeglang tetap menjadi pusat pemerintahan dan bisnis, namun kegiatan perdagangan digeser ke wilayah Kaduhejo dan Saketi. Banjar, Mekarjaya dan Cimanuk merupakan daerah pertanian dengan ikan, madu, bunga, sayur, buah dan lainnya sebagai komoditas unggulan.

Wilayah pegunungan Akarsari menjadi kawasan wisata utama, di kadu engang misalnya dibangun wahana kereta gantung, para pengunjung bisa memandang tiap sudut kota dari ketinggian 800 meter dpl. 

Mandalawangi banyak berdiri hotel, café, resto dan perkebunan kopi juga wisata wahana air. Sementara wilayah selatan (Bojong, Picung, Munjul) selain kawasan perkebunan juga merupakan penghasil daging; ayam, kambing dan sapi. (*)

Gunung Karang, 2017

*Tulisan diambil dari Kompasiana/Jandan






Posting Komentar untuk "Pandeglang 2050*"